Sekepul Asap Secangkir Kopi

reski ayu anzar
3 min readOct 9, 2020

--

Nyatanya, memandangi layar putih dengan kursor yang terus bergeming hanya semakin memacu adrenaline tanpa sedikitpun melibatkan endorphine, maka ku putuskan untuk menyajikan secangkir kopi untuk menemani menuangkan cerita yang melibatkan rasa cinta di dalamnya, meninggalkan seribu cinta setengah hati demi membawa pulang sebuah hati yang utuh. Hati yang utuh — yang didalamnya telah terukir tinta perjuangan serta kisah yang hanya mampu dipahami oleh hati yang didalamnya juga menawarkan manisnya cinta serta mampu meredam pahitnya ego.

Kala meneguk kopi sembari jari menggenggam cangkirnya, kepulan asapnya selalu menjadi sesuatu yang khas, mampu mengantarkan aroma kopinya lebih cepat menyentuh indera penciuman sehingga lobus temporal tidak sulit dalam memberi respon. Hari ini, saya kembali bermain bersama amygdala dalam otak, kembali membuka pintu memori satu persatu, menari bersama bayang kenangan didalamnya hingga membuat semakin tercekik akibat kepulan rindu yang terus menggebu-gebu, merengek dan terus meminta penawarnya: sebuh pertemuan.

Keputusan itu berawal setelah saya menekan simbol berbentuk telfon pada layar ponsel pintar yang berhasil menghubungkan saya dengan seorang pemilik suara serak, bertubuh tinggi — ia juga khas dengan senyumnya, manis: Miftah, nama yang kerap dilontarkan untuk memanggilnya. Kala itu ia meminta, untuk sekedar berbagi cerita dan memberi sedikit pesan kepada generasi yang sudah siap menerima tongkat estafet rumah peradaban ini pada Karya Kader, salah satu program kerja yang telah ia ikhtiarkan dihadapan Tuhan.

Rasanya ini adalah permintaan yang paling rumit, karena benar adigium yang pernah seseorang lontarkan: “You’ll learn by reading. But, you’ll understand with love”. Bagaimana mungkin huruf-huruf ini mampu menjadi jembatan terpaut rasa? Sedang, ketika berbicara terkait HMI — satu..dua..bahkan ratusan ribu huruf yang berjejer hingga membentuk sebuah kalimat belum mampu menjelaskan segala hal tentangnya, segala hiruk pikuk dan rutinitas didalamnya telah mampu membuat saya meneguk sari hikmah dan kearifan sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan yang sarat makna.

Kita mungkin akan sama-sama sepakat dan akan bertemu pada titik kesimpulan bahwa menjalani kehidupan pendidikan profesi ini sangatlah tidak mudah, tidak jarang air mata menjadi satu-satunya ungkapan perasaan, menyerah sering kali hadir dalam opsi, tapi untuk saya hal-hal itu mampu direduksi ketika saya memutuskan satu keputusan dalam hidup yang hingga hari ini tak saya temui walau setitik penyesalan didalamnya; menikmati proses ber-HMI.

Pernah sekali, dalam perbincangan hangat salah satu senior kami berbagi pengalaman dalam hidup dan ia menutupnya dengan sangat romantis; “ber-HMI itu akan selalu indah jika tidak, mungkin ada yang salah dengan cara anda ber-HMI” — memaknai kata yang ia lontarkan, cukup menyita waktu saya selama berhari-hari saat itu, karena hal itu sangat berusaha untuk saya maknai, berusaha untuk tidak saya gamblangkan hanya sebagai kiasan semata, juga kembali terngiang bahwa tak jarang juga saya menjumpai beberapa kader yang dengan gagahnya melontarkan kritik semata tanpa turut membasuh lini perubahan terhadap hal yang membangun, lucu dan ironis.

Di dalam hidup, rasa cinta itu perlu untuk selalu kita rawat dan tempatkan pada posisi yang benar hingga tak timbul luka dibaliknya, untuk saya begitupun dengan ber-HMI, dari menikmati prosesnya hingga saat ini, saya menemui begitu banyak pembelajaran sebagai bekal dalam mengarungi samudera kehidupan, darinya saya menyadari bahwa dalam hidup semua akan jauh lebih elok ketika kita mampu meretas ego ke-aku-an menjadi ego ke-kita-an, darinya saya begitu banyak belajar bahwa menjadi seseorang yang terus berusaha menebar kebermanfaat menemui begitu banyak bahagia didalamnya, darinya saya belajar bahwa hidup bukan hanya tentang kesejahteraan pribadi, bukan hanya tentang gemilang cahaya diri sendiri, tapi tentang kebersamaan, tentang kerja kolektif, tentang saling tersenyum dan bersinar pada tempatnya masing-masing

Untuk adik-adikku, teman-teman yang hari ini sudah siap menerima tongkat estafet kepengurusan selanjutnya; tak banyak pesan yang dapat tertuang pada medium ini, karena jarak lagi-lagi sedang memainkan perannya hingga indera penglihatan saya tak lagi mampu melihat lengkungan sudut bibir karena senyuman indah itu, tapi yang pasti bahwa cita HMI akan selalu abadi, ia akan terus konsisten dalam mewujudkan “insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam ,dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT” maka, turut andillah dalam mencapai tujuan tersebut jadikan jargon perjuangan HMI: “Yakin Usaha Sampai” dalam memaknai setiap detik dalam berproses di tubuh himpunan ini maka takkan kau temui luka didalamnya.

Tulisan ini hanyalah prolog, cerita ini belum usai mari kita kembali melanjutkan cerita-cerita perjuangan sembari menikmati sekepul asap secangkir kopi.

--

--